Hotline 08124266389
Informasi lebih lanjut?
Home » Kuliner » Tunuha: Jejak Syukur Petani Singkong Muna dalam Kudapan Ubi di Atas Batu Membara

Oleh: Novrizal R Topa

MUNA – Masih lekat dalam ingatan saya suasana penuh keakraban di Desa Liangkobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Di bulan November 2019, saya berkesempatan ikut dalam sebuah tradisi yang begitu khas, bernama Tunuha. Bagi masyarakat Muna, Tunuha bukan hanya sekadar kuliner, tetapi juga simbol rasa syukur atas hasil panen singkong yang melimpah.

Tradisi Turun-Temurun yang Hidup

Tunuha adalah warisan leluhur yang masih dipertahankan hingga kini. Masyarakat percaya bahwa melalui Tunuha, mereka bukan hanya merayakan panen, tetapi juga mempererat tali persaudaraan. Anak-anak, pemuda, orang tua, hingga sesepuh desa, semua terlibat, bahu-membahu mempersiapkan acara. Ada kebahagiaan yang sederhana tapi tulus, terpancar dari wajah mereka saat bergotong royong.

Gotong Royong Sebelum Api Dinyalakan

Sejak siang hari, desa telah sibuk. Para perempuan duduk berkelompok, menyiapkan adonan berbahan dasar singkong yang dicampur dengan bahan-bahan alami. Adonan itu kemudian dibungkus dengan daun pisang berbentuk piramida kecil atau dimasukkan ke dalam ruas bambu. Sementara itu, para laki-laki menyiapkan lubang di tanah, batu besar, dan kayu bakar. Semua dilakukan dengan teliti, karena proses ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi.

Batu dan kayu disusun menyerupai api unggun di atas lubang tanah. Saat api dinyalakan, bara menyala perlahan hingga akhirnya batu-batu itu membara merah, menandai bahwa proses memasak bisa segera dimulai.

Api, Batu, dan Kesabaran

Ketika bara sudah cukup panas, bambu berisi adonan singkong dimasukkan ke dalam lubang yang telah dipersiapkan. Setelah itu, ditutup rapat dengan lapisan batu, daun pisang, dan tanah. Tidak boleh ada celah udara, karena justru dari proses inilah rasa khas Tunuha tercipta. Proses memasaknya bukan sebentar, melainkan berlangsung hingga delapan jam.

Bayangkan, di tengah malam, saat api sudah padam, masyarakat tidak serta-merta pergi meninggalkan lokasi. Mereka tetap berkumpul di sekitar bara, menjaga proses ini dengan nyanyian dan tawa.

Malam yang Penuh Kehangatan

Inilah salah satu bagian paling berkesan: Modero, syair berbalas pantun khas suku Muna. Para laki-laki dan perempuan saling berbalas nyanyian dalam bahasa daerah, diselingi canda dan tawa yang membuat malam semakin hidup. Tak ada batasan usia, semua boleh ikut bernyanyi. Ada nuansa kegembiraan, ada pula nasihat yang terselip dalam syair-syair Modero.

Bagi saya, momen ini begitu mengharukan. Di era yang serba modern, masyarakat Muna masih setia menjaga kearifan budaya. Mereka tidak hanya memasak makanan, tetapi juga menjaga nyala kebersamaan yang diwariskan nenek moyang.

Pagi yang Dinanti: Menyantap Tunuha

Saat fajar tiba, rasa lelah malam berganti dengan antusiasme. Inilah saat yang paling ditunggu—membuka kembali timbunan tanah, mengangkat bambu-bambu berisi Tunuha, lalu membukanya perlahan. Aroma harum singkong yang tercampur dengan daun pisang menyeruak ke udara.

Tunuha disajikan bersama-sama, dimakan dengan sederhana namun penuh makna. Rasa gurihnya begitu khas, berpadu dengan tekstur lembut dari singkong yang dimasak perlahan dengan panas batu. Setiap gigitan bukan sekadar menikmati makanan, tapi juga merasakan hangatnya kebersamaan, doa, dan syukur yang terjalin sepanjang malam.

Lebih dari Sekadar Kudapan

Bagi masyarakat Muna, Tunuha adalah wujud rasa syukur atas hasil panen. Bagi saya pribadi, Tunuha adalah pelajaran tentang kebersamaan, kesabaran, dan penghargaan pada tradisi. Ia bukan hanya makanan, melainkan bagian dari identitas budaya.

Tradisi ini mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak selalu lahir dari hal besar. Kebahagiaan bisa tumbuh dari singkong sederhana yang diolah bersama, dinikmati bersama, dan dirayakan dengan tawa serta syair yang indah.

Kenangan tentang Tunuha akan selalu melekat di hati saya. Setiap kali mengingatnya, saya seolah kembali ke malam penuh nyanyian Modero, cahaya api, dan hangatnya kebersamaan masyarakat Desa Liangkobori.

Belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

Komentar Anda*Nama Anda* Email Anda* Website Anda

Mungkin Anda tertarik membaca artikel berikut ini.

Tunuha: Jejak Syukur Petani Singkong Muna dalam Kudapan Ubi di Atas Batu Membara

3 September 2025 12x Kuliner

Oleh: Novrizal R Topa MUNA – Masih lekat dalam ingatan saya suasana penuh keakraban di Desa Liangkobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Di bulan November 2019, saya berkesempatan ikut dalam sebuah tradisi yang begitu khas, bernama Tunuha. Bagi masyarakat Muna, Tunuha bukan hanya sekadar kuliner, tetapi juga simbol rasa syukur atas ... selengkapnya

Office

28 Desember 2016 10x Services

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisc- ing elit suspendisse mo- lestie vel. selengkapnya

Liangkabori Resmi Jadi Cagar Budaya Sultra: Jejak Prasejarah yang Menyatu dengan Alam Muna

9 September 2025 8x Nature

Kendari – Gua prasejarah Liangkabori di Desa Liang Kobori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, akhirnya resmi ditetapkan sebagai Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Tenggara. Keputusan ini lahir dalam sidang Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Sultra yang dipimpin Dr. La Ode Taalami, bersama sejumlah akademisi dan pakar sejarah terkemuka. Dalam sidang tersebut, para ... selengkapnya

Our Office

Liangkobori Tour and Travel
Jl. Poros Liangkobori, Desa Liangkobori – Kec. Lohia
– Kab. Muna, Indonesia
E-mail :

Live Chat
Online Senin-Sabtu (08:00 – 16:00) WIT

Gua Liangkobori

Rumah bagi ratusan lukisan cadas prasejarah yang berusia ribuan tahun, menjadi saksi bisu kehidupan dan kepercayaan nenek moyang.

Kontak Kami

Apabila ada yang ditanyakan, silahkan hubungi kami melalui kontak di bawah ini.